WEDHA: “KITA INI SUDAH TERLALU LAMA DIJAJAH SECARA VISUAL.”

“KITA INI SUDAH TERLALU LAMA DIJAJAH SECARA VISUAL.”

Gambar pertama saya (berupa komik) dimuat di media massa di Semarang. Nama korannya, kalau tidak salah, Angkatan Bersenjata. Hahaha… Baru satu semester kuliah jurusan arsitektur, saya putuskan meninggalkan kuliah. Lalu muncul penyesalan. Kuliah sudah ditinggal, begitu di luar ternyata mentok. Wah, penyesalan luar biasa. Saya sempat heran, di daerah sudah berkali-kali juara. Tapi begitu di Jakarta susahnya setengah mati. Coba berprinsip seperti supermarket. Sedia apa saja. Mau telor ada, barang elektronik tersedia, celana dalam juga siap.

Saya menciptakan konsep dan teknik sendiri yang sayaberi nama Kata Mata dalam komposisi. Pendekatannya menggunakan ilmu pasti. Seniman kalau ditanya karya, jawabannya intuitif. Saya tidak. Alasan dan tujuan saya logis dan tidak terbantahkan. Saya pakai kombinasi beberapa ilmu, seperti matematika, fisika, ilmu aura dan filosofi China. Jadi kebenarannya, kalau ilmu pasti 2 x 2 = 4, konsep saya 2 x 2 = 3.9. Masih saya sisakan untuk soal rasa. Tua bukan gangguan. Ketika mata saya mulai bermasalah, saya justru berinovasi dengan menciptakan Foto Marak Berkotak yang kemudian menjadi Wedha’s Pop Art Portrait. Karya pop art ala saya bukan mozaik atau kubisme, walaupun kubistis. Tapi keturunan dari seni rupa modern, anak kandung Dadaisme. Seniman itu katanya punya ego tinggi. Menurut saya pop art yang kita kenal sudah kadaluarsa. Seperti Andi Warhol. Kalau sekarang dia masih hidup dan lihat pop art saya, mungkin dia menyesal dan malu karena terlihat kurang cerdas. Warhol beruntung karena dia adalah public relation yang baik untuk karyanya.

 Seniman kita juga harus begitu. Jangan apa-apa orang asing. Sehebat-hebatnya, tetap saja buruh asing. Kita ini sudah terlalu lama dijajah secara visual. Katanya, dengan pekerjaan ilustrator masih susah untuk melamar anak orang. Makanya jangan hanya menganggap seni itu sebatas seni. Harus juga berpikir seperti pedagang. Jangan terlalu nyeni! Desainer visual itu harus seperti peselancar yang baik. Mempelajari ombak, alias tren dan dinamika sosial masyarakat yang berubah-ubah. Paling penting bekerja di bidang yang kita suka. And, do zig when others zag. Be extraordinary person. Kalau nggak bisa begitu, jadi orang baik saja. Orang baik itu aman, di manamana diterima.’

Memandang nasionalisme jangan sempit. Contohnya, bikin komik Dewi Nawang Mulan, Borobudur, dan wayang lagi. Siapa yang mau baca? Berkarya saja yang menarik, berdagang biar duit kuat. Kalau ada duit, bisa untuk riset dan berkembang. Saat menciptakan karakter visual Lupus, saya nggak berpikir rumit. Saya hanya berpikir soal tren. Ikon ini harus catchable, unik, ringkas, dan mudah ditiru. Saya nggak mau seperti kebanyakan orang pensiunan dari angkatan saya, kerjanya mondar mandir mushola doang.

sumber : http://wpapcommunity.com

Warna dalam WPAP

Selama ini setiap kita melihat karya seni rupa pop art, selalu saja yang tersaji adalah karya yang penuh warna meriah, sehingga wajar bila kemudian orang beranggapan bahwa seni rupa po art itu harus warna-warni. Bahkan kemudian imej beragam warna ini dianggap sebagai ciri utama dari seni rupa pop art. Nggak terlalu salah memang, tapi saya  kira juga kurang pas betul.

Dalam silsilah seni rupa, seni pop art disebut sebagai keturunan dari seni rupa modern. Orang tua kandungnya adalah dadaisme. Ini menurut Soedarso SP dalam bukunya, Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Batasan seni rupa modern sendiri begitu rumit dan banyak. Yang sering mengacaukan adalah adanya kata modern di situ. Banyak yang keliru menganggap bahwa karya seni rupa yang dibuat di jaman modern, otomatis disebut seni rupa modern. Dari banyak dan rumitnya batasan sebagai cap seni rupa modern, akhirnya para ahli sepakat bahwa faktor kreatifitaslah yang mutlak harus ada pada seni rupa modern.

Kreatifitas dalam proses penciptaan karya seni rupa bisa terjabarkan dalam berbagai aspek.Dimulai dari aspek gagasan,bentuk penuangan gagasan,medium dan seterusnya. Tapi yang paling penting adalah keratifitas dalam aspek penuangan pancaran kesan atau impresi ( etnis jawa menyebutnya ‘roso’).Sebenarnya impresi ini bersifat subyektif. Contohnya, bila seorang pelukis terpesona melihat pemandangan yang menurutnya indah, kemudian dia melukis pemndangan alam itu. Dalam proses melukisnya tentu ada dorongan intuitif untuk menuangkan interpretasinya terhadap keindahan yang dilihat sebelumnya. Dan jadilah sebuah lukisan pemandangan yang secara visual, bagi orang lain, berbeda dengan kadaan sebenarnya. Berbeda karena secara kreatif pelukis itu telah meramu interpretasinya dengan impresi awal dari pemandangan alam sebelumnya. Dan ini yang membuat karyanya disebut sebagai seni rupa modern. Akan lain kejadiannya bila pelukis tadi hanya berperan sebagai kamera foto. Dia hanya merekam dan menjajikannya dengan impresi yang sama persis dengan impresi awalnya.Karya semacam ini tidak bisa disebut sebagai seni rupa modern.

Upaya kreatif pengubahan impresi inilah yang ditekankan dalam proses penciptaan karya WPAP. WPAP mengangkat figur-figur yang sudah sangat dikenal atau populer dan menhadirkannya kembali dengan impresi yang berbeda. Impresi ini sering saya sebut sebagai menu rasa.

Menu rasa yang berbeda ini mencuat kuat karena adanya dua faktor penting dalam WPAP. Dua factor itu adalah faceting bentuk yang khas dan permainan warna. Dengan kata lain, kekuatan menu rasa baru itu sangat tergantunge pada kekuatan 2 faktor tadi. Bila salah satu factor itu lemah, tentu menu rasa baru tidak akan optimal hadirnya. Perlemahan ini bisa terjadi dalam pemilihan scheme warna. Walau hasilnya tetap nyaman dipandang, tapi penggunaan warna skin tone akan mendekatkan karya ini pada foto aslinya. Mendekatkan menu rasanya pada menu rasa aslinya. Menu rasa baru tidak tampil dengan kekuatan penuh.

Jelaslah bahwa dalam WPAP hadirnya warna- warni aneh bukanlah tujuan akhir atau goal untuk bisa disebut seni rupa modern, melainkan sebagai sarana demi terciptanya menu rasa baru dari figur yang diangkat. Menu rasa baru sebagai hasil kreatifitas inilah yang diupayakan kehadirannya sebagai syarat seni rupa modern. Itu saja.

Wedha Abdul Rasyid.

sumber: http://wpapcommunity.com